Minggu, 09 April 2023

Argumentum ad Hominem terhadap Ateis

 

Argumentum ad hominem adalah cara berargumentasi dengan menyerang penyampai premis atau opini dari sisi pribadinya. Banyak orang salah kaprah, mengira ad hominem ini adalah berdebat dengan cara caci maki. Itu salah. Ad hominem tidak selalu berisi caci maki. Demikian pula sebaliknya, sebuah makian yang terkandung dalam argumentasi tidak serta merta merupakan ad hominem.
Ad hominem, sekali lagi, adalah jurus menyerang pemilik opini. Dengan serangan itu fokus pembicaraan bergeser, dari substansi menjadi ke soal-soal lain. Lalu substansi persoalan tidak lagi dibahas.
Contoh ad hominem yang sering saya lihat adalah kritik terhadap ateis. "Sudah tidak percaya Tuhan, kok masih terus membahas agama." Itu sesuatu yang ditulis dan dikeluhkan oleh banyak orang. Tulisan disertai dengan bahasan ad hominem. Mulai dari ejekan "ateis online", "ateis lokal", sampai pada tuduhan "tidak yakin dengan pilihannya jadi ateis". Adakah substansinya? Tidak ada.
Orang menulis seolah ada aturan bahwa "ateis tidak boleh membahas agama". Mereka mengarang aturan itu dengan nalar pendek mereka. Seolah dalil "kalau sudah tidak beragama ngapain bahas agama" itu sesuatu yang kuat argumentasinya. Tidak. Itu bukan argumentasi. Sekadar ungkapan kejengkelan saja. Sama seperti ejekan-ejekan tadi.
Sebaiknya bagaimana? Kalau mau intelek, bahaslah substansi argumentasinya. Bahas pakai nalar, bukan iman. Rujukannya adalah rujukan yang fair, seperti sains, sejarah, atau sumber ilmiah lain. Jangan pakai kitab suci dan pendapat pemuka agama.
Kalau tidak sanggup bagaimana? Diam saja. Emang ada yang melarang kalau tulisannya berisi keluhan dan ad hominem? Tidak, sih. Bebas saja. Hanya saja Anda tidak menghasilkan tulisan dengan argumentasi bermutu.
Tulisan ateis itu berisi penghinaan, kata mereka. Itu antara benar dan tidak. Definisi menghina itu sulit ditetapkan secara fair, karena berisi sangkaan yang sangat subjektif. Saya dulu pernah menulis nama tokoh agama tanpa embel-embel sebutan kehormatan saja sudah dituduh melecehkan. Kita bahas seseorang yang dianggap suci dengan sudut pandang bahwa dia manusia biasa, juga dianggap penghinaan. Rumit, kan?
Tapi kan ada yang benar-benar menghina? Kalau soal itu, pilihan ada pada Anda. Tulisan hinaan tidak ada argumentasi. Jadi tidak perlu ditanggapi. Kalau ditanggapi, isinya cuma balasan hinaan. Tidak produktif, tidak pula intelek.
Tapi kenapa sih ateis suka menulis soal agama? Embuh. Saya bukan ateis, jadi tidak bisa menjawab soal itu. Kalau saya ditanya, kenapa menulis suatu topik, jawaban saya adalah saya menulis apa saja yang terlintas di kepala. Makanya saya keberatan kalau dituduh "tiap hari bahas agama". Bahasan saya sungguh lebar. Mulai dari urusan permesuman, sains, sosial politik, manajemen, parenting, dan tentu saja agama. Nah, orang-orang yang kalap karena jengkel sering membuat kesimpulan keliru tadi, "bahas agama melulu".
Saya tidak tahu motif penulis lain. Tidak penting pula bagi kita untuk tahu. Yang penting adalah, argumentasinya benar atau tidak. Kalau argumentasinya benar, sebuah tulisan atau opini layak untuk dinikmati. Soal setuju atau tidak, itu tidak penting. Sebuah tulisan yang baik akan memberi kita sudut pandang yang baik. Kalau mau memberikan bantahan, bantahlah dengan argumentasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar