Melihat
fenomena saat ini di jejaring sosial media terlalu banyak distraksi
yang diluar kendali diri kita dalam mencapai suatu pencapaian atau
tujuan orang lain dengan memiliki pekerjaan yang mampu memberikan gaji
sampai 2-3 digit tiap bulannya. Terbukti dari sebuah video yang beredar
di sosial media, dalam konten tersebut seseorang terlihat mewawancarai
beberapa orang “bekerja dimana? lulusan mana? penghasilan berapa? kerja
sebagai apa?” Sehingga banyak komentar dari netizen baik positif maupun
negatif, ada yang insecure gara
gara tidak memiliki gaji yang tinggi, ada juga yang ingin mengambil
jurusan tertentu supaya bisa mendapatkan gaji yang ia harapkan, dan
akhirnya itu menjadi sesuatu yang berada diluar kendali kita ‘oh, ternyata pendidikan bisa menjadi kaya raya yaa.’ Lalu bagaimana dengan nasib mahasiswa yang mengambil jurusan yang output nya sebagai guru honorer? Apa bisa?
Atau masih ingatkah anda dengan isi cuitan instastory yang viral di media sosial dari seorang mahasiswa freshgraduate dari
lulusan kampus ternama di Indonesia yang menolak sebuah pekerjaan
karena merasa keberatan dengan tawaran gaji sebesar 8juta. Dan banyak
komentar dari netizen dengan membandingkan gaji pertama mereka, ada yang
menyayangkan karena menolak gaji sebesar 8juta, lalu ada yang
memberikan komentar yang julid karena sok-sokan. Dan banyak sekali
komentar dari netizen yang subjektif.
Dan saya sadari dari kasus tersebut, bahwa adanya mindset yang
terbangun mengenai pendidikan yang dilihat dari besarnya gaji yang
diterima. Mungkin semakin besar gaji maka semakin tidak sia sia
pendidikan yang telah ditempuh. Atau mungkin jika harga dari pendidikan
yang telah ditempuh tidak sesuai dengan persepsi di kalangan masyarakat,
apakah akan muncul sikap sinisme berupa sia sia nya waktu yang
telah digunakan untuk mengeyam pendidikan karena gaji tak sesuai dengan
ekspektasi yang diharapkan?
Jika paradigma dan persepsi yang
dibangun oleh masyarakat adalah demikian, maka masyarakat akan berlomba
lomba memasuki sekolah atau perguruan tinggi bergengsi, demi
mendapatkan lembar ijazah dan gelar lalu bekerja dengan standar prestige yang
tinggi tanpa rasa peduli dan empati terhadap permasalahan yang terjadi
di masyarakat. Dan sepertinya ini menjadi sesuatu hal yang wajar.
Akhirnya orientasi dari pendidikan masa kini, hanya berfokus pada lulus
dari perguruan tinggi bergengsi, lalu mendapatkan pekerjaan yang
bergengsi juga. Padahal jika ditinjau lebih jauh lagi mengenai tujuan
dibangun dan diperjuangkannya pendidikan kala itu bukanlah sebatas
memenuhi sandang, pangan dan papan secara pribadi.
Sehingga saya membuat artikel ini sebagai tamparan diri agar
mencegah dari paradigma tersebut. Bagaimanapun pendidikan pada dasarnya
adalah proses tranformasi pengetahuan menuju arah perbaikan, penguatan
dan penyempurnaan semua potensi. Pendidikan tidak hanya berfokus pada
nilai tanpa adanya moral dan pengembangan kualitas dalam diri. Bahwa
substansi menempuh pendidikan bukan hanya untuk memperkaya kognisi,
tanpa tujuan implementasi. Pendidikan juga tidak dibatasi oleh ruang dan
gedung yang mewah ataupun terkenalnya suatu almamater. Begitu juga
dengan harga sebuah pendidikan yang tidak hanya dilihat dari berapa
rupiah yang diterima pasca selesainya masa pendidikan, tetapi bagaimana
kebermaknaan sosial yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas dari hasil
proses menjalani pendidikan.
Dalam menempuh pendidikan harus
kita tanamkan motif awal dengan tujuan mendapatkan skill untuk
implementasi pemecahan masalah masalah yang ada di masyarakat sekitar,
maka segala bentuk kemorosotan dalam dunia pendidikan pun dapat
dihindari. Termasuk dengan menjadikan jalur pendidikan untuk memperkaya
diri dan sanak famili. Motif ini dilakukan dengan penguasaan
pengendalian diri kita yang dimana akan senantiasa aktif dengan
melakukan pertimbangan secara rasional dengan permasalahan yang diluar
kendali diri kita, memahami juga setiap konsekuensi dari keputusan yang
diambil, dan memahami bahwa kehidupan dunia yang penuh dengan kenikmatan
juga hanyalah sementara. Apalagi kekayaan yang sudah kita cari bisa
saja lenyap dalam sekejap.
Berusaha dengan keras untuk mencapai sesuatu memanglah suatu
kewajiban sebagai manusia. Tapi, apa yang akan kamu dapatkan nanti bukan
lagi sesuatu yang bisa kamu kendalikan. Kamu hanya bisa mengendalikan
pikiran dan tindakanmu, yakni dengan tidak banyak berekspektasi, tidak
perlu overthinking, memaksimalkan upaya, dan menerima realita yang
seharusnya. Jadi tanamkan dalam diri bahwa orientasi pendidikan ialah
untuk melakukan suatu perubahan di suatu masyarakat
“Pendidikan
itu bukan sebuah produk seperti gelar, diploma, pekerjaan, atau uang
yang dihasilkan; pendidikan itu suatu proses yang tak akan pernah
berakhir."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar